![]() |
Buku puisi Imaji Air Api karya Agus K. Saputra resmi dibedah dalam sebuah pagelaran sastra dan diskusi buku yang digelar oleh Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).(Istimewa). |
PARAGRAFNEWS.id – Buku puisi Imaji Air Api karya Agus K. Saputra resmi dibedah dalam sebuah pagelaran sastra dan diskusi buku yang digelar oleh Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (25/6). Acara ini mengangkat tiga sudut pandang utama: Simbol Perlawanan dan Tugas Kenabian, Manusia yang Hilang, dan Lanskap Gersang dalam Imaji.
Diskusi dibuka oleh Prof. Abdul Wahid yang menyoroti puisi-puisi dalam Imaji Air Api sebagai simbol “perlawanan” dan “tugas kenabian”. Menurutnya, puisi-puisi dalam buku ini tidak ditulis demi kepentingan pribadi, posisi sosial, atau keuntungan tertentu, tetapi sebagai bentuk pengabdian dan pencarian ridha publik.
“Saya tergugah, dan teringat kisah Rabiah al-Adawiah,” ujar Prof. Wahid. “Seorang sufi perempuan yang membawa air dan lilin, untuk memadamkan neraka dan membakar surga—agar cinta kepada Tuhan tak lagi didasari imbalan atau ancaman. Begitu pula puisi dalam buku ini; lahir dari keresahan, dari cinta, dan dari niat yang murni untuk menggugah kesadaran ilahiah.”
Ia menegaskan bahwa setelah puisi diterbitkan, penulisnya telah "mati" secara simbolik. Artinya, karya tersebut sepenuhnya menjadi milik publik untuk ditafsirkan dan dimaknai kembali. Prof. Wahid menambahkan bahwa puisi memiliki peran penting ketika bahasa doa tak lagi membumi. Dalam kondisi seperti itu, puisi hadir untuk membebaskan manusia dari belenggu, dan menghidupkan kembali kesadaran akan Tuhan serta kemanusiaan.
Manusia yang Hilang dalam Imaji
Iin Farliani, pembahas utama buku ini, melihat bahwa Imaji Air Api menyuguhkan puisi-puisi yang tidak menampilkan subjek manusia secara langsung. Alih-alih, puisi-puisi Agus K. Saputra menampilkan benda-benda yang memikul sifat-sifat manusia.
Misalnya, dalam puisi Harapan Para Jelata, ada larik “gelas kosong menyendiri”. Sementara dalam Perahu Koyak, perahu dilukiskan sebagai entitas yang menepi dan kehabisan daya. Hal serupa muncul dalam puisi Napas Kehidupan dengan larik “sepasang sepatu teronggok di ujung hati paling sepi”.
“Di buku ini, manusia tidak lagi menjadi subjek utama. Yang hadir justru benda-benda yang mewakili rasa, emosi, dan nasib manusia,” jelas Iin. “Ini menciptakan tafsir baru, bagaimana kita memahami batas antara yang hidup dan yang mati, atau antara manusia dan benda.”
Puisi Kidung Kematian memperkuat tafsiran ini, dengan pertanyaan menyentuh: “Bagaimana harus bercerita padamu merpati cantikku, manakala sayap tak ada?” – sebuah refleksi tentang eksistensi dan kehilangan.
Lanskap Gersang sebagai Imaji Sosial
Tjak S. Parlan, desainer sampul buku ini, menyoroti dominasi diksi dan gambaran yang menciptakan lanskap gersang. Kata-kata seperti ‘kering’, ‘mengering’, ‘kemarau’, dan ‘dahaga’ mengisi puisi-puisi Agus dengan suasana musim kering, sebagai metafora krisis sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dalam puisi Harapan Para Jelata, lanskap paceklik dihubungkan dengan kondisi rakyat miskin yang terdampak pandemi, krisis iklim, dan ketimpangan ekonomi.
“Lanskap gersang ini merepresentasikan realitas sosial yang tandus dan penuh kesenjangan. Tapi menariknya, puisi ini tetap menyisakan harapan,” kata Tjak Parlan. Hal itu tampak jelas dalam puisi Pulang Membawa Rezeki yang menutup dengan senyum seorang ibu, sebagai simbol kekuatan dan kebahagiaan dalam keterbatasan.
Simbol Tokoh Buruh dan May Day
Agus K. Saputra mengungkapkan bahwa proses kreatif buku Imaji Air Api dimulai pada peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2019. Salah satu puisi berjudul Imaji ditulis tepat pukul 12.25, merekam kegelisahan dan pencarian sosok buruh ideal yang tak berhasil diwujudkan hingga keesokan harinya.
Menanggapi hal ini, Dimas Valentino menyebut nama Marsinah—sosok buruh perempuan yang menjadi simbol perlawanan. Ia menangkap diksi “air” sebagai representasi kaum marginal dan “api” sebagai simbol kekuasaan.
“Ini jelas menunjukkan bahwa buku ini adalah bentuk penghormatan kepada buruh, kepada peluh, dan perjuangan kelas pekerja,” ujar Dimas, disambut antusias peserta.
Pertunjukan Sastra dan Musikalisasi Puisi
Acara diskusi juga diisi dengan penampilan Sak Sak Dance Production yang mementaskan puisi Air Api dalam bentuk tari. Sementara itu, Pantjoro Sumarso memusikalisasi puisi-puisi Mayapada, Mau Jadi Apa Kamu Kelak, dan Pusara Ibu, menciptakan suasana puitik yang mendalam.
Buku Imaji Air Api menjadi bukti bahwa puisi bukan sekadar rangkaian kata, melainkan ruang kontemplasi, perlawanan, dan spiritualitas. Sebuah karya yang menghadirkan estetika yang menggugah, sekaligus kritik sosial yang tajam namun penuh cinta.