![]() |
Pojok NTB dan M16 menggelar Mimbar bebas 100 hari kepemimpinan Iqbal-Dinda di Kota Mataram.(Istimewa). |
PARAGRAFNEWS.id — Pemerintahan Gubernur NTB H. Lalu Muhamad Iqbal dan Wakil Gubernur Hj. Indah Dhamayanti Putri (Iqbal-Dinda) genap berusia 100 hari. Untuk mengukur dan mengevaluasi perjalanan awal pasangan ini, Pojok NTB bersama lembaga riset Mi6 menggelar Mimbar Bebas 100 Hari Iqbal-Dinda, Minggu malam (1/6/2025), di Tuwa Kawa Coffee Roastery, Kota Mataram.
Kegiatan ini menjadi ruang ekspresi demokratis pertama yang secara terbuka menyoroti arah dan fondasi awal kepemimpinan Iqbal-Dinda. Sejumlah tokoh dari berbagai latar belakang—akademisi, aktivis, politisi, hingga lembaga negara—mengungkapkan pandangan, kritik, dan harapan terhadap jalannya pemerintahan NTB ke depan.
Evaluasi Kritis dan Harapan dari Berbagai Elemen
Ketua Panitia Mimbar Bebas, Hendra Kusuma, menyatakan bahwa meskipun 100 hari bukan ukuran final, namun fase ini penting sebagai tolak ukur awal kepercayaan publik terhadap janji politik dan arah kebijakan kepala daerah.
"Seratus hari bisa menjadi ruang untuk menilai niat dan arah kebijakan. Namun kritik harus tetap dalam koridor konstruktif," kata Hendra, yang juga merupakan Dewan Pendiri Mi6.
Senada dengan itu, Direktur Pojok NTB Muhammad Fihiruddin menegaskan pentingnya menjadikan Mimbar Bebas sebagai kompas arah kepemimpinan Iqbal-Dinda.
“100 hari pertama seharusnya bisa memberi sinyal kemajuan. Tapi sejauh ini saya melihat NTB seperti autopilot. Kita butuh pemimpin yang tegas dan strategis, bukan sekadar narasi,” ujarnya tajam.
Iwan Harsono: Belum Tampak Arah Kebijakan Jelas
Ekonom senior Universitas Mataram, Dr. Iwan Harsono, menjadi tokoh pertama yang menyampaikan orasi. Ia mengkritik absennya arah kebijakan yang jelas dari pasangan Iqbal-Dinda.
“Rakyat sudah beri mandat lewat visi-misi mereka. Tapi hingga kini belum tampak bagaimana visi itu diterjemahkan ke dalam kebijakan,” tegasnya.
Iwan juga menilai jargon meritokrasi yang diusung Iqbal-Dinda masih sebatas wacana. “Meritokrasi bukan program, tapi amanat undang-undang. Yang dibutuhkan adalah implementasi nyata,” tegasnya.
Raden Nuna: Perlu Gebrakan, Bukan Seremoni
Anggota Komisi III DPRD NTB, Raden Nuna Abriadi, menekankan pentingnya tindakan nyata. “100 hari ini harus menjadi pijakan awal, bukan hanya seremoni. Publik butuh gebrakan,” ujarnya.
Ia juga mengkritik data pertanian NTB yang dinilai tidak akurat saat disampaikan ke pemerintah pusat, dan membela Bank NTB Syariah dari narasi negatif yang justru muncul dari pemerintah sendiri.
Ombudsman: Pelayanan Publik Masih Bermasalah
Kepala Perwakilan Ombudsman NTB, Dwi Sudarsono, menyoroti lemahnya pelayanan publik di NTB.
“Banyak dinas masih berada di zona kuning dalam hal kepatuhan pelayanan publik. Ini menyangkut hal mendasar seperti KTP, pendidikan, dan izin usaha. Selesaikan yang dasar dulu,” tegasnya.
WALHI: Lingkungan Rusak, Butuh Sikap Tegas Gubernur
Eksekutif Daerah WALHI NTB, Amri Nuryadin, mengungkapkan keprihatinan atas degradasi lingkungan akibat pertambangan dan monokultur jagung.
“Ada 355 izin tambang di 219 ribu hektare. NTB sudah hampir hancur. Kami tak tuntut solusi langsung, tapi Gubernur harus menunjukkan sikap politik yang jelas,” serunya.
Aktivis Perempuan: Tidak Ada Keberpihakan pada Perempuan dan Anak
Aktivis perempuan sekaligus mahasiswa, Ni Putu Virgi Eka Ayu Rasta, menyesalkan belum adanya program konkret untuk pendidikan dan perlindungan perempuan dalam 100 hari pertama.
“Rencana peleburan DP3AP2KB dengan Dinsos adalah langkah mundur. Di tengah meningkatnya kasus pelecehan, pemerintah harus hadir membela perempuan dan anak,” katanya.
Ada yang Puas, Ada yang Masih Menunggu Bukti
Ahmad Ziadi (PSI): Menilai Iqbal-Dinda sedang menyusun fondasi, dan meminta publik bersabar.
Lalu Arif Rahman (NasDem): Mengingatkan pentingnya evaluasi berdasarkan parameter kinerja, bukan asumsi semata.
Taupik Hidayat (KNPI): Menyebut kepemimpinan Iqbal-Dinda terlalu banyak bicara “akan-akan” tanpa hasil nyata.
Aji Maman (PAN): Mengklaim bahwa sejumlah program strategis sudah mulai digerakkan, termasuk penanganan kemiskinan dan ketahanan pangan.
Muzakkir: Menyatakan puas terhadap kepemimpinan awal Iqbal-Dinda.
Ahmad Syamsul Hadi (NasDem): Menyebut mimbar bebas ini sebagai ajang otokritik penting, dan menyoroti pentingnya konsistensi ide dan gagasan.
Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto, menekankan bahwa meskipun 100 hari adalah waktu singkat, semestinya sudah cukup untuk menunjukkan arah dan niat baik kepemimpinan.
“Dalam 100 hari, fondasi perubahan harusnya sudah mulai diletakkan. Waktu akan menjawab apakah bangunan itu berdiri kokoh atau justru ambruk,” tegasnya.